Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sangka Yang Salah


 Oleh: Zein Ave*

Seperti sengaja, Fikri menikmati dengan memendekkan langkahnya susuri trotoar. Selepas jamaah isya di masjid tadi, langsung ke kedai depan perumahan untuk menemui temannya disana. Sorban yang biasa ia gunakan sebagai alas sujud itu dikalungkannya ke leher bak sebuah syal.

Dinginnya angin malam itu terasa menusuk hingga ketulang, sesaat sebelum gerimis tipis melembapkan permukaan bumi. Beberapa langkah sebelum memasuki gerbang perumahan, ia mempercepat langkahnya. Sampai digapura pintu masuk perumahan itu, ia memutuskan untuk menghentikan langkahnya. Gerimis tipis yang semula syahdu untuk dinikmati itu telah menjadi lebih tebal nan kasar. Rumah yang ia tempati berada di blok C. Lumayan kuyup berjalan kaki sampai kesana. Berteduh dibawah gapura dirasa keputusan yang tepat.

Hampir bersamaan Fikri menginjak putung rokok sisa dari kedai tadi, terlihat seorang perempuan berlarian kecil turut berteduh dibawah gapura.

Semerbak wangi merasuk indra penciuman Fikri. Beberapa detik ia memelankan tempo kedipan matanya, mencari-cari dari mana angin membawa aroma wangi itu. Rupanya perempuan itu berdiri disampingnya.

Sekejap pandangannyapun kembali ia alihkan dari perempuan itu. Meski begitu Fikri tahu kalau perempuan itu menyunggingkan senyum ramah tamah padanya.

Perempuan itu memang cantik. Rambutnya hitam lurus diikat ala harajuku, croptop warna putih yang memamerkan mulus kulit tubuhnya sangat mendukung penampilannya. Dipadu jins ketat warna biru dan high hill putih menambah kesan keseksiannya. Alisnya tebal rapi dan pipi yang nampak kemerahan bak tertampar, harusnya membuat betah para lelaki memandangnya.

Perempuan itu seperti dibuat salah tingkah oleh Fikri. Mereka bertukar sapa namun Fikri tak juga menyajikan muka. Perempuan itu mengusap-usap lengannya sendiri sambil memandanginya kiri dan kanan, bahkan kebawah hingga bagian dadanya. Ia tersenyum nampak lebih lebar menyadari penampilannya yang memang terbuka.

Seperti feeling, mendengar suara kulit bergesekan, Fikri tahu saat itu si perempuan sedang mengusap-usap lengan dan beberapa bagian tubuh lainnya. Ia melepas sorban yang sedari tadi mengikat lehernya dan menyodorkan pada perempuan itu. Seperti tanggap, perempuan itu menerimanya. Segera ia kenakan untuk menutupi rambut bak kerudung dan sebagian menutupi tubuhnya yang terbuka. 

Nampaknya hujan mulai reda. Rintiknya kian memudar dan kembali menjadi gerimis tipis yang syahdu. Fikri melongokkan kepalanya keatas. Memastikan akan aman tanpa kuyup melanjutkan jalan sampai di rumah. Perempuan itu kembali membuka pembicaraan,

"Darimana mas tahu saya seorang muslimah?," ucapnya sambil tetap memegangi sorban itu menutupi bagian tubuhnya.

"Aku tidak tahu..," sahut Fikri sembari menggelengkan kepala.

"Yang aku tahu malam ini terasa dingin. Sangkaku mbaknya mengusap-usap badan karena kedinginan kan? Ku relakan sorbanku untuk menutupi bagian tubuhmu yang tidak tertutup."

"Lah.. aku sangka masnya risih dengan keberadaanku didekatmu, sedang pakaianku terbuka gini. Hihihi..," perempuan itu tersipu malu dan menggunakan ujung sorban itu menutupi sebagian mukanya.

"Hehe.. Rona merah pipimu, manis senyummu, juga wangimu membuaiku. Aku takut terhanyut lalai dan tenggelam dalam kecantikanmu."

Si perempuan kembali dibuatnya tersipu malu.

"Lantas bagaimana seumpama aku non muslim?"

"Aku tidak ingin membiarkanmu kedinginan. Meski ku tahu itu salahmu sendiri. Udah tahu malam ini dingin masih saja mengenakan pakaian seperti itu. Hehe"

Disahutnya canda Fikri dengan tawa kecil oleh perempuan itu. Usai mereka berdua tertawa ringan itu, Fikri melanjutkan jawabannya.

"Lagi pula, mereka yang bukan saudaraku dalam iman adalah saudaraku dalam kemanusiaan."

"Udah reda nih, aku pulang duluan..," sembari melambaikan Fikri berlari kecil meninggalkan perempuan itu.

"Loh, mas, sorbannya?"

Usai berlari puluhan langkah, Fikri berhenti untuk menimpali, "lain waktu kembalikan, jika mau. Jika enggan, ya simpan saja. Jangan gunakan untuk sholat. Ntar bukannya teringat sholat untuk-Nya malah teringat aku. Haha..." Ia meneruskan langkahnya. Belok ke kiri dan menghilang dari pandangan perempuan itu.

"Makasih, mas..," sambil senyum-senyum riang perempuan itu melunjutkan langkahnya yang sempat tertunda hujan. Menuju dimana mobilnya terparkir dengan tetap mengenakan sorban itu membalut tubuh mulusnya.

***** 

Malam Minggu. Suasana lingkungan perumahan yang Fikri tempati nyaris tiada beda. Sepi. Beberapa muda-mudi anak tetangga mungkin sejak sore tadi sudah jalan. Atau mungkin bepergian bersama keluarganya. Lirih dari ujung komplek terdengar suara tembang kenangan. Beberapa orang tua yang terlibat arisan komplek sedang karaokean.

Al-Rahman adalah cinta Allah yang dilimpahkan bagi segenap makhluk-Nya tanpa pilih bulu. Sedangkan al-Rahim adalah cinta yang diperuntukkan bagi orang-orang bertakwa, beriman dan beramal saleh., begitu kutipan dari buku terjemahan, MASNAWI. Senandung cinta abadi. Salah satu karya dari sang maestro cinta, Jalaluddin Rumi.

Saat ini Fikri menselonjorkan kakinya dan separuh punggungnya rebah di sofa ruang tamu. Membaca dan sembari sesekali mengepulkan asap putih dari selah bibirnya.

Sedang asyiknya ia menikmati tiap kata yang diejanya, dering ponsel diatas meja mengagetkan. Dari mas Hardi menelfon.

"Assalamualaikum, mas?"

"Waalaikum salam. Sibuk kah?"

Pertanyaan yang sangat menyebalkan terucap darinya. Dia kan tahu aku sedang menjomblo, semenjak minggu lalu Laila sembari bercucuran air mata menyudahi sebuah ikatan denganku dan akan menjalin ikatan pernikahan bersama seorang Gus pilihan orang tuanya. Sedangkan dalam tiga bulan terakhir ini, aku dan mas Hardi mengerjakan satu projek yang sama toh., Fikri mengumam.

Setelah sikian saat percakapan, rupanya mas Hardi datang menjemput, lalu mengajak Fikri ngopi di daerah kota. Tepatnya di Kafe Gelas Bening. Dalam perjalanan Fikri tidak banyak bicara kecuali menjawab jika Hardi bertanya. Juga tidak bertanya tentang anak dan istrinya yang setiap malam Minggu selalu merengek mengajak jalan-jalan.

Mas Hardi memilih tempat duduk agak pojok, dekat dengan tembok. Fikri memesan macchiato ketika pelayan kafe mendatanginya. Ia tersenyum melihat pelayan yang nampak sabar menunggu mas Hardi yang terlihat begitu sibuk dengan ponselnya. Mas hardi memang kelihatan sedang sibuk membalas chat. Terlihat begitu gagap mengetahui ada seorang perempuan berdiri tegap didepannya.

"Samain dengan pesanan masnya ini," sahut mas Hardi sekenanya.

“Maaf, Fik, aku keluar sebentar ya, ini ada urusan mendadak. Jika lama nanti aku kabari," ucap Hardi sembari berdiri lalu meninggalkan Fikri sendirian.

Hal yang disesali Fikri, tidak membawa bukunya dan melanjutkan membaca ketika tahu kelak ditinggal sendiri menunggu.

Hampir bersamaan pesanan disajikan pelayan kafe. Seorang perempuan datang menghampiri. Keduanya kaget dan beberapa saat terpaku saling pandang.

"Benar meja nomor 28 kan?" tanya perempuan itu sedikit gemetar, grogi.

Dilihatnya papan nomor dimeja itu oleh Fikri, iya.

Maretta, begitu perempuan itu mengenalkan dirinya. Perempuan satu jam yang lalu sempat merasa bangga dan terharu dengan perhatian Fikri. Sorban yang tadi digunakan membalut tubuhnya telah ditanggalkannya dalam mobil. Kini mengenakan cardigan. Setidaknya agak tertutup dari pada ketika bertemu dibawah gapura tadi.

"Mas Fikri?"

Sinis tatapan Maretta. Lebur sudah penilaiannya tentang Fikri sejam yang lalu. Ia kecewa. Lelaki yang begitu menghargai perempuan, kata-katanya yang membuatnya tersipu bahkan mampu membuat matanya berkaca haru ternyata sama saja. Tiada beda dengan lelaki lain yang kerap membokingnya untuk menemani karaoke.

Kendati demikian Maretta tetaplah harus professional. Harga yang telah disepakati juga sudah masuk rekeningnya. Satu jam kedepan ia akan menemani Fikri dengan keceriaan.

"Eh?." Fikri kaget dia mengenalnya.

Sedari awal kedatangannya memang seperti sudah ada janji. Fikri menyangka jika Maretta inilah yang menjadi alasan Hardi mengajaknya kesini dan tidak bersama keluarga seperti malem Minggu biasanya. Dipencetlah kontak Hardi pada ponselnya untuk menghubugi.

Diwaktu bersamaan, Maretta juga menelepon nomor yang tadi mengajaknya bertemu disini. Tak lain adalah nomor Hardi yang memakai nama Fikri. Nomornya sedang dalam panggilan lain. Maretta semakin yakin bahwa dia tidak salah orang. Sebab ia melihat kearah Fikri yang juga sedang menempelkan ponsel ditelinganya.

"Hems.. Gayanya sok-sokan, nyatanya brengsek juga..," lirih Maretta penuh kesal kearah Fikri.

"Mau disini saja, nggak naik?," imbuh Maretta.

Mendengar pertanyaan dari Maretta itu, Fikri mulai menyadari alurnya. Diatas adalah tempat karaoke kafe ini. Meski sadar telah dikerjain Hardi, tetapi ia juga mengapresiasi ulahnya. Mungkin maksudnya baik. Hardi pikir Fikri terlarut dalam kesedihan berpisah dengan Laila. Sebab kejadian waktu itu Hardi juga melihatnya secara langsung dengan jarak yang tak terpaut jauh. Ide yang cukup gila.

"Macchiatonya diminum dulu. Suka kopi kan? Selesai rokokku ini kumatikan, coba mbaknya telfon lagi nomor yang mengaku Fikri tadi."

Tak terasa sudah hampir satu jam mereka berdua menikmati kopi dimeja nomor 28 itu. Penasaran Maretta tak kunjung terobati. Ia pencet lagi nomor yang bernama Fikri itu untuk memastikan.

"Halo..," suara dari sebrang menyahut telefon Maretta.

Sejak pertemuan pertama, benih suka serta respect telah tumbuh di hati Maretta. Ia mulai kelimpungan, salah tingkah. Secara tidak langsung ia buka sendiri tentang siapa dirinya didepan Fikri. Rona merah dipipinya itu semakin melebar. Malu.

"Hehe.. Terkadang prasangka seperti dua mata pisau. Memberikan luka jika salah." Lirih canda Fikri sembari memencet-mencet kretek dalam jepitan ujung jempol dan telunjuknya.

*Pecinta sastra sufistik