Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengaruh Perceraian Terhadap Psikologi Anak

Img: repost internet
                                                                                                        Oleh : Nanang Syaggaf Armanda



Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap istri yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama Islam, yang dapat juga disebut sebagai cerai talak. Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi setiap pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi menimbulkan banyak hal yang tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan semua pihak, termasuk kedua pasangan, anak-anak, dan kedua keluarga besar dari pasangan tersebut.

Pada tulisan kali ini penulis akan menekankan pada anak. Mengapa anak? Karena seringkali pihak yang akan bercerai maupun pihak keluarga tidak begitu memperhatikan dampak yang begitu besar kepada anak. Padahal dampaknya begitu luar biasa, bahkan ada kasus anak yang mengalami gangguan mental akibat dari perceraian orang tuanya. Hal ini perlu menjadi renungan bersama agar tidak menjadi sebuah penyesalan nantinya. Kita tidak akan pernah bisa menghindar dari masalah. Namun, seringkali cara mengatasinya tidak pada tempatnya. Seringkali kita tidak mengetahui secara menyeluruh atas dampak yang ada atas segala keputusan yang kita ambil.

Psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Jadi, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu jiwa. Psikologi anak adalah satu hal yang terdampak akan perceraian. Namun dampak diberikan terbagi ke beberapa keadaan. Pertama, psikologi anak Ketika permasalahan besar yang berujung pada perceraian. Kedua, psikologi anak setelah perceraian terjadi. dan ketiga, psikologi anak setelah beberapa tahun terlewati setelah perceraian terjadi.

Keadaan pertama, psikologi anak Ketika permasalahan besar yang berujung pada perceraian terjadi. pada keadaan ini umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung rendah. Pada keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :

·    Perasaan iri kepada teman-temannya yang memiliki kehidupan rumah tangga yang begitu harmonis dan baik-baik saja. (afek negatif)

·     Kebencian. Apabila pada kondisi ini pihak keluarga besar dari salah satu orang tua maupun keduanya tidak menunjukkan kepedulian akan masalah yang terjadi pada kedua orang tuanya. (afek negatif)

·       Bersifat pasif dan diam. (afek negatif)

·    Merasa tidak dipahami oleh orang tuanya. Hal ini dikarenakan anak juga terdampak akan masalah yang terjadi pada kedua orang tuanya. Sehingga tak jarang anak membutuhkan kepekaan orang tuanya untuk lebih memperhatikannya dan lainnya. (afek negatif)

·      Tidak merasakan kedekatan emosional. Hal ini apabila kedua orang tuanya sibuk bekerja dan kurang melakukan komunikasi kepada anak. (afek negatif)

·       Tidak puas terhadap diri sendiri (kepribadian tertutup) (afek negatif)

·       Tidak nyaman, tidak puas. Apabila ibu mengatur dan mendidik dengan keras (afek negatif)

·    Tak jarang pada keadaan ini anak kadang kala bersifat agresif (mudah marah dan lainnya) maupun meluapkan kesedihan akan kondisi keluarganya. Bersifat agresif maupun meluapkan kesedihan hanyalah kelegaan sementara. (afek positif)

·     Merasa disayangi. Ketika kakek dan nenek memberi kasih sayang dan perhatian (afek positif)

·       Bangga. Ketika mendapatkan pencapaian prestasi akademik (afek positif)

Keadaan kedua, psikologi anak setelah perceraian terjadi.  Pada keadaan ini umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung rendah juga. Pada keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :

·      Terguncang dan sedih. Hal ini dikarenakan perceraian yang terjadi pada kedua orang tuanya (afek negatif)

·     Sakit hati. Apabila orang tua tidak memberikan pemahaman tentang perceraian yang terjadi (afek negatif)

·       Marah dan kecewa. Apabila orang tua tidak mau rujuk (afek negatif)

·     Iri hati. Hal ini dikarenakan anak membandingkan dirinya dengan teman yang keluarganya harmonis (afek negatif)

·    Takut dan tidak terjalin kedekatan emosional. Ketika hubungan orang tua kian memburuk (afek negatif)

·      Merasa jengkel dan marah. Ketika salah satu orang tua belum dapat menerima perceraian dan menyuruh untuk memilih salah satu diantara kedua orang tuanya (afek negatif)

·       Tidak puas terhadap diri sendiri (afek negatif)

·   Marah. Menyalahkan keluarga besar yang punya andil dalam mendamaikan kedua orang tuanya (afek negatif)

·    Tertekan. Ketika hubungan orang tua kian memburuk dan tidak mau berkomunikasi secara langsung sehingga anak menjadi perantara komunikasi orang tuanya yang telah bercerai. (afek negatif)

·   Menyalahkan diri sendiri. Ketika anak merasa tidak mampu untuk mencegah terjadinya perceraian kedua orang tuanya (afek negatif)

·    Percaya diri. Apabila anak berusaha mencari dukungan sosial baik dari teman maupun lainnya (afek positif)

·       Menulis diary dan menangis. Kelegaan sementara (afek positif)

·       Bercerita. Senang, kelegaan sementara (afek positif)

·       Bangga. Nilai akademik baik (afek positif)

Keadaan ketiga, psikologi anak beberapa tahun setelah perceraian kedua orang tuanya. Pada keadaan ini umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung tinggi. Pada keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :

·  Sedih. Ketika mencari pekerjaan agar mampu hidup mandiri namun gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan/gaji kecil (afek negatif)

·     Tidak nyaman / tidak bersemangat. Hadirnya Wanita yang lebih tua yang ingin menikahi (afek negatif)

·  Merenung, menyendiri, melampiaskan / melupakan. Ketika masih belum mampu berdamai dengan diri sendiri (afek negatif)

·   Marah dan kecewa. Ketika orang tua tidak memahami keadaan anak karena tidak adanya keterbukaan antara anak dengan kedua orang tuanya (afek negatif)

·    Bangga. Ketika dapat memaknai dan mengambil hikmah maupun mensyukuri nikmat Allah SWT (afek positif)

·       Semangat. Ketika menonton film yang membangkitkan semangat (afek positif)

·   Senang. Ketika berhasil mengatur keuangan dengan baik dan mampu memulihkan maupun membantu perekonomian keluarga (afek positif)

·   Puas. Ketika anak mampu memahami keadaan orang tua, baik itu penerimaan terhadap perceraian maupun telah mampu menjalin kedekatan dengan orang tua (afek positif)

·       Semangat. Ketika ingin meniru sifat ibu yang pekerja keras (afek positif)

·   Tenang dan nyaman. Ketika pasangan menjadi mediator dengan ibu/ayah sehingga mampu bersikap proaktif memahami (afek positif)

·       Puas terhadap diri sendiri. Ketika sifat kepribadian mulai terbuka (afek positif)

·  Puas. Ketika orang tua proaktif memahami dan adanya kedekatan emosional sehingga kepribadian jadi terbuka (afek positif)

·       Kelegaan sementara. Ketika bercerita kepada teman maupun lainnya (afek positif)

·    Dapat menikmati hidup. Ketika berpikir positif dan memunculkan sikap penerimaan terhadap perceraian kedua orang tuanya (afek positif)

·    Merasa lebih kuat. Ketika keadaan keluarga yang sudah dapat menerima perceraian yang ada (afek positif)

·    Menjadi diri sendiri, nyaman dan bebas. Ketika pindah ke asrama / pondok maupun dominasi orang tua berkurang (afek positif)

·      Nyaman. Ketika kedua orang tua maupun salah satunya mulai bersikap memahami keadaan anak (afek positif)

·       Bahagia. Ketika merasakan dukungan sosial dari teman (afek positif)

·       Optimis. Ketika anak mulai berpikir solusi (afek positif)

Beberapa keadaan di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi anak berupa kesejahteraan subyektif/individu pada kondisi Ketika permasalahan besar yang terjadi dan berujung pada perceraian maupun ketika setelah perceraian terjadi kesejahteraan subyektif/individu anak cenderung rendah. Namun, Ketika beberapa tahun telah terlewati kesejahteraan subyektif anak kian membaik.

Semakin baik dan harmonis sebuah rumah tangga sebelum badai permasalahan yang berujung pada perceraian, maka akan semakin buruk pula dampaknya kepada psikologi anak karena ketidaksiapan anak dalam menghadapi keadaan yang awalnya baik-baik saja menjadi keadaan yang kacau balau, penuh dengan perselisihan dan hal-hal lainnya yang tidak baik bagi psikologi anak. Namun sebaliknya, apabila anak dari sebelum badai permasalahan yang berujung pada perceraian itu datang memang tidak pernah merasakan keharmonisan rumah tangga dan rumahku surgaku, maka tidak begitu ada dampak yang signifikan terhadap psikologi anak tersebut. Karena memang sedari awal si anak tidak merasakan kebahagiaan di dalam keluarganya.

Pada tahapan terakhir perlu dipahami bahwa hal tersebut dapat terwujud Ketika anak mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan berpikir positif akan segala hal yang pernah terjadi pada keluarganya. Namun, apabila anak tetap tidak mampu berdamai dengan diri sendiri dan terus larut pada perasaan negatif yang terdapat pada dirinya hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian penuh dari kedua orang tua maupun keluarga besar dari kedua orang tua lalu anak itu sendiri.

Walaupun disini pada tulisan ini terkesan letak kesalahan lebih kepada orang tua yang kurang memahami dampak yang begitu besar kepada psikologi anak bahkan memberikan pemahaman maupun lainnya tidak dilakukan. Namun perlu diingat bahwa “tidak ada yang dapat memulihkan keadaan kita kecuali diri kita sendiri”. Segalanya memang atas kehendak Allah SWT. namun ingatlah bahwasanya ada suatu ayat Al-Qur’an dalam surat Ar-Rad ayat 11 yang menerangkan bahwasanya “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Hal ini menerangkan bahwasanya anak juga tidak baik menyalahkan orang tua. Mengapa? Karena kita tidak mengetahui bahwasanya orang tua juga sedang mengalami hal yang sama berupa marah, kecewa, maupun hal-hal lainnya yang menunjukkan adanya ketidakdamaian dengan diri sendiri. Di samping itu, kita tidak mengetahui masalah yang ada sebesar apa dan serumit apa sehingga kita sebagai makhluk sosial hanya bisa saling menguatkan tanpa harus menyalahkan.

Penulis hanya berusaha mengajak belajar bersama terkait pentingnya pemahaman akan pengaruh perceraian terhadap psikologi anak. Karena seringkali hal ini luput dalam pemahaman kita sebagai manusia. Maka, hal ini tidak lain juga untuk menegaskan kita sebagai makhluk sosial. Makhluk yang butuh orang lain dalam memberikan pemahaman, makhluk yang harus mengerti kondisi makhluk lainnya agar tidak menjadi makhluk yang egois akan pemikirannya sendiri.