Pengaruh Perceraian Terhadap Psikologi Anak
![]() |
Img: repost internet |
Perceraian adalah
putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap
istri yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama Islam, yang dapat juga
disebut sebagai cerai talak. Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat
tidak diinginkan bagi setiap pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi
menimbulkan banyak hal yang tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan
semua pihak, termasuk kedua pasangan, anak-anak, dan kedua keluarga besar dari
pasangan tersebut.
Pada tulisan kali ini
penulis akan menekankan pada anak. Mengapa anak? Karena seringkali pihak yang
akan bercerai maupun pihak keluarga tidak begitu memperhatikan dampak yang
begitu besar kepada anak. Padahal dampaknya begitu luar biasa, bahkan ada kasus
anak yang mengalami gangguan mental akibat dari perceraian orang tuanya. Hal
ini perlu menjadi renungan bersama agar tidak menjadi sebuah penyesalan
nantinya. Kita tidak akan pernah bisa menghindar dari masalah. Namun,
seringkali cara mengatasinya tidak pada tempatnya. Seringkali kita tidak
mengetahui secara menyeluruh atas dampak yang ada atas segala keputusan yang
kita ambil.
Psikologi berasal dari
kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu atau ilmu
pengetahuan. Jadi, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu
jiwa. Psikologi anak adalah satu hal yang terdampak akan perceraian. Namun
dampak diberikan terbagi ke beberapa keadaan. Pertama, psikologi anak Ketika
permasalahan besar yang berujung pada perceraian. Kedua, psikologi anak setelah
perceraian terjadi. dan ketiga, psikologi anak setelah beberapa tahun terlewati
setelah perceraian terjadi.
Keadaan pertama, psikologi
anak Ketika permasalahan besar yang berujung pada perceraian terjadi. pada
keadaan ini umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung
rendah. Pada keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :
· Perasaan iri kepada teman-temannya
yang memiliki kehidupan rumah tangga yang begitu harmonis dan baik-baik saja. (afek
negatif)
· Kebencian. Apabila pada kondisi ini
pihak keluarga besar dari salah satu orang tua maupun keduanya tidak
menunjukkan kepedulian akan masalah yang terjadi pada kedua orang tuanya. (afek
negatif)
· Bersifat pasif dan diam. (afek negatif)
· Merasa tidak dipahami oleh orang
tuanya. Hal ini dikarenakan anak juga terdampak akan masalah yang terjadi pada
kedua orang tuanya. Sehingga tak jarang anak membutuhkan kepekaan orang tuanya
untuk lebih memperhatikannya dan lainnya. (afek negatif)
· Tidak merasakan kedekatan emosional.
Hal ini apabila kedua orang tuanya sibuk bekerja dan kurang melakukan
komunikasi kepada anak. (afek negatif)
· Tidak puas terhadap diri sendiri
(kepribadian tertutup) (afek negatif)
· Tidak nyaman, tidak puas. Apabila ibu
mengatur dan mendidik dengan keras (afek negatif)
· Tak jarang pada keadaan ini anak
kadang kala bersifat agresif (mudah marah dan lainnya) maupun meluapkan
kesedihan akan kondisi keluarganya. Bersifat agresif maupun meluapkan kesedihan
hanyalah kelegaan sementara. (afek positif)
· Merasa disayangi. Ketika kakek dan
nenek memberi kasih sayang dan perhatian (afek positif)
· Bangga. Ketika mendapatkan pencapaian
prestasi akademik (afek positif)
Keadaan kedua, psikologi anak setelah perceraian terjadi. Pada keadaan ini umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung rendah juga. Pada keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :
· Terguncang dan sedih. Hal ini
dikarenakan perceraian yang terjadi pada kedua orang tuanya (afek negatif)
· Sakit hati. Apabila orang tua tidak
memberikan pemahaman tentang perceraian yang terjadi (afek negatif)
· Marah dan kecewa. Apabila orang tua
tidak mau rujuk (afek negatif)
· Iri hati. Hal ini dikarenakan anak
membandingkan dirinya dengan teman yang keluarganya harmonis (afek negatif)
· Takut dan tidak terjalin kedekatan
emosional. Ketika hubungan orang tua kian memburuk (afek negatif)
· Merasa jengkel dan marah. Ketika
salah satu orang tua belum dapat menerima perceraian dan menyuruh untuk memilih
salah satu diantara kedua orang tuanya (afek negatif)
· Tidak puas terhadap diri sendiri
(afek negatif)
· Marah. Menyalahkan keluarga besar
yang punya andil dalam mendamaikan kedua orang tuanya (afek negatif)
· Tertekan. Ketika hubungan orang tua
kian memburuk dan tidak mau berkomunikasi secara langsung sehingga anak menjadi
perantara komunikasi orang tuanya yang telah bercerai. (afek negatif)
· Menyalahkan diri sendiri. Ketika anak
merasa tidak mampu untuk mencegah terjadinya perceraian kedua orang tuanya
(afek negatif)
· Percaya diri. Apabila anak berusaha
mencari dukungan sosial baik dari teman maupun lainnya (afek positif)
· Menulis diary dan menangis. Kelegaan
sementara (afek positif)
· Bercerita. Senang, kelegaan sementara
(afek positif)
· Bangga. Nilai akademik baik (afek
positif)
Keadaan ketiga, psikologi
anak beberapa tahun setelah perceraian kedua orang tuanya. Pada keadaan ini
umumnya kesejahteraan subyektif (subjective well-being) cenderung tinggi. Pada
keadaan ini anak biasanya akan mengalami beberapa keadaan, yaitu :
· Sedih. Ketika mencari pekerjaan agar
mampu hidup mandiri namun gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan/gaji
kecil (afek negatif)
· Tidak nyaman / tidak bersemangat.
Hadirnya Wanita yang lebih tua yang ingin menikahi (afek negatif)
· Merenung, menyendiri, melampiaskan /
melupakan. Ketika masih belum mampu berdamai dengan diri sendiri (afek negatif)
· Marah dan kecewa. Ketika orang tua
tidak memahami keadaan anak karena tidak adanya keterbukaan antara anak dengan
kedua orang tuanya (afek negatif)
· Bangga. Ketika dapat memaknai dan
mengambil hikmah maupun mensyukuri nikmat Allah SWT (afek positif)
· Semangat. Ketika menonton film yang
membangkitkan semangat (afek positif)
· Senang. Ketika berhasil mengatur
keuangan dengan baik dan mampu memulihkan maupun membantu perekonomian keluarga
(afek positif)
· Puas. Ketika anak mampu memahami
keadaan orang tua, baik itu penerimaan terhadap perceraian maupun telah mampu
menjalin kedekatan dengan orang tua (afek positif)
· Semangat. Ketika ingin meniru sifat
ibu yang pekerja keras (afek positif)
· Tenang dan nyaman. Ketika pasangan
menjadi mediator dengan ibu/ayah sehingga mampu bersikap proaktif memahami
(afek positif)
· Puas terhadap diri sendiri. Ketika
sifat kepribadian mulai terbuka (afek positif)
· Puas. Ketika orang tua proaktif
memahami dan adanya kedekatan emosional sehingga kepribadian jadi terbuka (afek
positif)
· Kelegaan sementara. Ketika bercerita
kepada teman maupun lainnya (afek positif)
· Dapat menikmati hidup. Ketika berpikir
positif dan memunculkan sikap penerimaan terhadap perceraian kedua orang tuanya
(afek positif)
· Merasa lebih kuat. Ketika keadaan
keluarga yang sudah dapat menerima perceraian yang ada (afek positif)
· Menjadi diri sendiri, nyaman dan
bebas. Ketika pindah ke asrama / pondok maupun dominasi orang tua berkurang
(afek positif)
· Nyaman. Ketika kedua orang tua maupun
salah satunya mulai bersikap memahami keadaan anak (afek positif)
· Bahagia. Ketika merasakan dukungan
sosial dari teman (afek positif)
· Optimis. Ketika anak mulai berpikir
solusi (afek positif)
Beberapa keadaan di atas
dapat disimpulkan bahwa psikologi anak berupa kesejahteraan subyektif/individu
pada kondisi Ketika permasalahan besar yang terjadi dan berujung pada
perceraian maupun ketika setelah perceraian terjadi kesejahteraan
subyektif/individu anak cenderung rendah. Namun, Ketika beberapa tahun telah
terlewati kesejahteraan subyektif anak kian membaik.
Semakin baik dan harmonis
sebuah rumah tangga sebelum badai permasalahan yang berujung pada perceraian,
maka akan semakin buruk pula dampaknya kepada psikologi anak karena
ketidaksiapan anak dalam menghadapi keadaan yang awalnya baik-baik saja menjadi
keadaan yang kacau balau, penuh dengan perselisihan dan hal-hal lainnya yang
tidak baik bagi psikologi anak. Namun sebaliknya, apabila anak dari sebelum
badai permasalahan yang berujung pada perceraian itu datang memang tidak pernah
merasakan keharmonisan rumah tangga dan rumahku surgaku, maka tidak begitu ada
dampak yang signifikan terhadap psikologi anak tersebut. Karena memang sedari
awal si anak tidak merasakan kebahagiaan di dalam keluarganya.
Pada tahapan terakhir
perlu dipahami bahwa hal tersebut dapat terwujud Ketika anak mampu berdamai
dengan dirinya sendiri dan berpikir positif akan segala hal yang pernah terjadi
pada keluarganya. Namun, apabila anak tetap tidak mampu berdamai dengan diri
sendiri dan terus larut pada perasaan negatif yang terdapat pada dirinya hanya
akan membuat dirinya semakin terpuruk. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian
penuh dari kedua orang tua maupun keluarga besar dari kedua orang tua lalu anak
itu sendiri.
Walaupun disini pada
tulisan ini terkesan letak kesalahan lebih kepada orang tua yang kurang
memahami dampak yang begitu besar kepada psikologi anak bahkan memberikan
pemahaman maupun lainnya tidak dilakukan. Namun perlu diingat bahwa “tidak ada
yang dapat memulihkan keadaan kita kecuali diri kita sendiri”. Segalanya memang
atas kehendak Allah SWT. namun ingatlah bahwasanya ada suatu ayat Al-Qur’an
dalam surat Ar-Rad ayat 11 yang menerangkan bahwasanya “Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri”.
Hal ini menerangkan
bahwasanya anak juga tidak baik menyalahkan orang tua. Mengapa? Karena kita
tidak mengetahui bahwasanya orang tua juga sedang mengalami hal yang sama
berupa marah, kecewa, maupun hal-hal lainnya yang menunjukkan adanya
ketidakdamaian dengan diri sendiri. Di samping itu, kita tidak mengetahui
masalah yang ada sebesar apa dan serumit apa sehingga kita sebagai makhluk
sosial hanya bisa saling menguatkan tanpa harus menyalahkan.
Penulis hanya berusaha
mengajak belajar bersama terkait pentingnya pemahaman akan pengaruh perceraian
terhadap psikologi anak. Karena seringkali hal ini luput dalam pemahaman kita
sebagai manusia. Maka, hal ini tidak lain juga untuk menegaskan kita sebagai
makhluk sosial. Makhluk yang butuh orang lain dalam memberikan pemahaman,
makhluk yang harus mengerti kondisi makhluk lainnya agar tidak menjadi makhluk
yang egois akan pemikirannya sendiri.