Aku dan Desaku
(Refleksi hari Lingkungan hidup Sedunia)
![]() |
Img: repost internet |
Oleh: Gus Syamsul Nur Arifin
Penampakan alam di perkampungan desa kami terlhat sebagaimana mestinya. Pagi hari menyambut sapan surya, suara burung burung sahut menyahut satu sama lain. Menciptakan suara khas nyanyian alam. Matahari perlahan masuk dengan memancarkan kehangatan. Mencairkan butiran embun yang semalam membasasi seluruh flora yng berdiri kokoh menunjukkan keteguhannya.
Disisi lain, mata air mengalir tanpa henti sepanjang tahun. Memberikan sumber air bagi semua makhluk secara adil. sumber penghidupan seluruh ekosistem yang saling berkaitan. Orang orang menggunakan air untuk sawah dan lading secara gratis, bahkan air di perumahan perumahan warga tercukupi tanpa harus membayar. Begitulah penampakan alam di desa kami, desa di lereng gunung.
Manusia dengan seksama menjaga kestabilan alam. Mereka meyakini bahwa alam dan hutan adalah anugrah Tuhan YME untuk dimanfaatkan oleh manusia. Serta menggunakan secara tidak berlebihan dan menjaga kestabilannya adalah hal wajib. Nyaris tak ada sampah yang berserakan.
Sampah sampah di olah secara mandiri di masing masing rumah tangga. Penggunaan bahan bahan yang sulit di daur ulang sangat diminimalisir. Sampah smpah organic di pisahkan dengan sampah anorganik. Sisa makanan, sampah tumbuhan, kotoran hewan di kumpulkan dan selanjutnya diolah untuk dijadikan pupuk bagi sawah dan ladang petani. Penggunaan pupuk kimia sangat minim, karna mereka paham betul dampak jangka panjang penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Sementara sampah sampah plastic dipilah pilah secara mandiri. Sebagian yang bisa dijual, mereka kumpulkan dan dijual ke pengempul rongsokan. Untuk selanjtnya di daur ulang. Sementara sampah anorganik yang tidak laku jual, dikumpulkan di Tempat pembuangan sampah desa untuk diolah menjadi paving block.
Kesadaran akan pentingnya menjaga alam melekat dan menjadi bagian dari masarakat. Sedari kecil pembiasaan tentang mencintai alam serta ekosistem ditanamkan. Sehingga berdampak pada kelangsungan hidup manusia di masa depan. Serta untuk menjaga harapan hidup lebih lama generasi generasi yang akan dating.
Di sisi lain orang orang terdahulu meninggalkan warisan berharga untuk menjaga hutan dan alam. Penanaman cerita mistis di wariskan turun temurun. Bahwa dalam kehidupan dilarang untuk berbuat kerusakan terhadap alam. Hal yang akan menjadikan alam murka semurka murkanya jika manusia melanggar hak makhluk supranatural yang hidup secara berdampingan. Penanaman ini sudah terbangun sedari dulu. Sebuah toleransi yg tidak hanya terbatas pada sesaama manusia. Naun juga sesame makhluk Tuhan. Baik yang bersifat fisik maupun metafisik.
Penggambaran suasana desa di atas adalah cerita fiktif belaka, sekedar untuk relaksasi imajinasi. Hanya bahasa seolah olah yang pada akhirnya nyaris tidak pernah kita temui kondisi ini di belahan dunia manapun. Keserakahan serta rasa lapar manusia yang berlebihan menjadikan kegilaan luar biasa dan menimbulkan sifat yang amat rakus. Tak peduli bagaimana nasib manusia dimasa depan, apapun yang bisa di hasilkan oleh alam di makan habis habisan tanpa ampun. Saat ini di anggap manusiawi oleh khalayak umum.
Orkesta nyanyian burung pembangkit semnagt pagi nyaris hilang. Tinggal suara beberapa butir saja yang menunjuukkan jeritan kesepian. Saudara saudaranya habis, berakhir di wajan penggorengan setelah timah panas pemburu menebus kawananya yg sedang sibuk mencari makan anaknya. Sebagaian yang lain, terkungkung dalam sangkar sambil menyanyi menunggu kematian. Nasib serupa juga menimpa faua yang lain. Mereka nyaris habis di buru, hingga tersisa beberapa yang harus di ungsikan di penangkaran hewan untuk menyelamatkannya.
Mata air alam banyak yang mati. Imbas dari pohon pohon yang di ganyang habis. Tinggal segelintir yg mampu bertahan. Cerita mistis hantu penunggu pohon ciptaan nenek moyang di lahap juga untuk membesarkan perut perut rakus. Mesin mesin traktor lalu lalang melakukan penghancuran alam. Cukup modal selembar kertas izin, yang mampu membungkam teriakan anak anak yang tak ingin tempat mainnya hilang.
Belum lagi komersialisi air bersih oleh perusahaan perusahaan Negara. Air yg disuguhkan alam yang harusnya bisa dinikmati secara gratis oleh manusia. Di jualbelikan melalui gorong gorng raksa. Sawah sawah di lereng gunung yg dahulu bisa ditanami padi setahun 3 x sekarang tinggal dua atau sekali setahun. itupun hanya menunggu air yang langsung turun dari langit. Sebuah skema cantik untuk membunuh manusia secara perlahan. Bisa jadi hal ini pula yang menjadikan manusia menghalalkan segala cara. Yang awalnya ikut menjaga hutan, pada suatu kondisi harus ikut berlomba menghabisi pohon hutan sebelum lenyap dimakan pabrik pabrik bermodal.
Sungai yang menjadi ekosistem biota air menjadi neraka bagi makhluk hidup yang mendiaminya. Sampah sampah tak terkendali memenuhi sebagian besar aliran aliran kali. Pandangan wajar di setiap sudut layaknya tempat sampah raksasa. Kesadaran yang terdegradasi serta acuhnya peran pemerintah tentang pentingnya menjaga alam menjadi alas an tambahan. Dana dana milyaran yang di glontorkan di desa desa untuk kesejahteraan warga tak sedikit yg masuk di kantong kantong para pejabat. Kalaupun tidak, fokus untuk pembangunan pembangunan rabat jalan yg bertumpu 2 lapis kurang dari 5 tahun. Hal wajar karna membangun jalan lebih cepat mendongkrak popularitas dari pada merawat alam yg tersembunyi.
Tinggal menunggu waktu alam mengambil alih. Melenyapkan ketamakan manusia dengan murkanya. Bencana dimana mana jangan anggap sebagai takdir begitu saja. Tapi ada proses panjang tentang ulah manusia. Lantas bisa apa? Selain bersama sama menunggu bom waktu itu meledak.
“Memperingati hari lingkungan hidup sedunia”