Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan di tengah lompatan perubahan zaman

Oleh:
Gus Syamsul Nur Arifin*

2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan Nasional

Momentum sebagai pemantik semangat, serta refleksi atas kondisi pendidikan hari ini. Hampir semua mengadakan peringatan hari Pendidikan Nasional. Upacara besar, poster-poster bertebaran di mana-mana. Ada yang memanfaatkan momentum ini sebagai sebuah refleksi bersama, namun tak sedikit pula yang hanya sekedar menjadikan formalitas menggugurkan perintah atasan.

Penetapan 2 Mei sebagai hari Pendidikan Nasional, diambil dari hari kelahiran sosok filsuf pendidikan indonesia Suwardi Suryaningrat yang menggagas pendidikan penyadaran dari Imperialisme. Dalam pendidikan dan pengajarannya, beliau mengedepankan kekhasan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa.

Buah buah pemikirannya bahkan sampai mendunia dalam bentuk buku, tulisan tulisan di media massa, serta perannya di forum forum besar. Bahkan hasil pemikirannya diakui dan digunakan tak hanya didalam negeri saja, bahkan sampai di manca negara. Pemikiran Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) masih sangat relevan sampai saat ini. Bahkan Kemendikbud yang di nahkodai Nadiem Makarim mencoba lebih konsen mengembalikan ruh pendidikan Indonesia sesuai dengan apa yang dicita citakan ki hajar dewantara melalui merdeka mengajar.

Pergeseran kurikulum serta perubahan yang cukup ekstrim tentu menimbulkan pro dan
kontra dalam pelaksanaannya. Selain karena barang baru membutuhkan pemahaman yang menyeluruh, masalah sumber daya manusia sebagai pelaku dari format pendidikan ini menjadi penting. Tak jarang hujatan serta cacian muncul oleh berbagai pihak karena lahirnya kurikulum merdeka belajar dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan harus mampu menjawab perubahan zaman.

Lompatan lompatan budaya yang berubah secara ugal ugalan di pengaruhi oleh pengaruh luar yang sangat tak mungkin dibendung oleh pemerintah secara menyeluruh. Pada akhirnya kita harus mampu berdampingan, beriringan dengan perubahan. Bahkan tak bisa dipungkiri aspek ini merubah budaya dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, generasi 90’an mengalami lompatan kebudayaan yang begitu signifikan. Zaman jauh sebelum gadget ditemukan, atau bahkan tidak pernah terpikirkan sama sekali saat itu. Kita masih sering menemui anak anak bermain bersama sepanjang hari, anak anak terbiasa bersosialisasi dengan berbagai macam karakter, menurunkan ego masing masing dan menjalankan semuanya secara bersamaan. Sementara hari ini sangat jarang melihat anak-anak bermain bersama, mereka terlalu asyik dengan gadget di pojok kamar di bawah stop kontak. Sosialisasi mereka terbatas hanya melalui gadget. 

Tentu hal ini sedikit banyak akan
mengubah cara seorang berhadapan dengan manusia nyata. Tahap dan proses perkembangan zaman yang masuk pada akhirnya merubah kultur budaya dan sosial sehingga yang kita alami dahulu, akan sangat berbeda dengan hari ini. Kita tidak mungkin melawan, berusaha untuk mengimbanginya adalah sikap yang paling logis. Jika tidak mampu mengimbangi perubahan, yang terjadi perlahan akan digilas oleh zaman dan jauh tertinggal oleh peradaban. Kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor penting terjadinya perubahan budaya yang signifikan. Hal ini berbanding lurus dengan lahirnya budaya budaya baru di masyarakat yang tentu tak semuanya memiliki dampak positif. Dampak negatif pun semakin menjamur dan mau tak mau hal ini kita hadapilah yang kita hadapi belakangan.

Pendidikan menjadi penting sebagai fondasi awal manusia dalam menghadapi gonjang
ganjing perubahan zaman. Celakanya, pemahaman tugas mendidik dibebankan pada lembaga pendidikan saja. Tak jarang lembaga pendidikan menjadi bulan bulanan, jika outputnya mengalami penyimpangan dalam sosial masyarakat. Sekolah seolah olah dianggap paling bertanggung jawab atas keberhasilan maupun kegagalan masa depan bangsa. Ya, memang begitulah adanya.

Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa keberhasilan sebuah bangsa hanya
tergantung pada kualitas lembaga pendidikannya saja. Sementara lembaga pendidikan, terbatas ruang dan waktu untuk mengawal generasi secara menyeluruh. Penghakiman atas kerusakan moral dibebankan kepada lembaga pendidikan, dan dosa terbesar secara otomatis disandangkan pada sekolah selaku pelaksana dari program dan gagasan pemerintah. Mencoba menelisik lebih luas, bahwa tanggung jawab mendidik bukan hanya menjadi tugas sekolah. Pendidikan secara menyeluruh harus mampu menyatukan 3 aspek. Pemerintah, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Pendidikan akan berhasil ketika 3 aspek memahami betul tentang peran masing masing.

Keluarga sebagai madrasah awal bagi tumbuh kembangnya generasi menjadi fondasi untuk mempersiapkan anak menghadapi dunia luar yang ganas. Anak anak dipersiapkan, diajarkan, diawasi serta tetap dipantau bagaimana perkembangannya, perlakuannya dalam keluarga sebagai iklim penting mempersiapkan psikologi anak untuk menyikapi perubahan dunia.

Selain itu, lingkungan masyarakat juga tak kalah pentingnya. Lingkungan masyarakat
sebagai aktualisasi dari hal hal yang di dapat dalam sekolah juga memiliki peran yang
penting. Seorang anak cenderung lebih mengikuti kebiasaan yang ada di lingkungan
masyarakat secara umum, karna mereka memahami bahwa lingkungan masyarakat adalah kehidupan sesungguhnya. Jika dalam sebuah lingkungan budaya yang berkembang adalah budaya yang baik, maka siswa akan sangat mudah mengaplikasikan apa yang didapat di sekolah sebagai tindak lanjut pembelajaran. Pun demikian sebaliknya, jika lingkungan masyarakat budaya yang berkembang buruk, maka akan sangat sulit untuk anak melawan arus yang ada saat itu. dan bahkan tak jarang akan hanyut mengalir begitu saja dengan budaya yang ada.

Pemahaman akan tugas bersama ini menjadi penting untuk membentuk sebuah budaya masyarakat yang menjaga nilai nilai budi pekerti serta budaya bangsa. Sinkronisasi antara ketiga aspek ini mutlak dilakukan jika berharap mencetak generasi terbaik. Lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Tentu kita semua.

selamat hari pendidikan Nasional 2024

*Adalah guru Pendidikan Agama Islam di SDN 1 Sugihan, Kampak. Disamping itu penulis juga menahkodai Gerakan Pemuda Ansor PAC Gandusari, Kabupaten Trenggalek.