“Tolong mas Jangkar renungkan kembali, apa yang telah mas Jangkar katakan.” Tandas Kiran sembari melangkahkan kaki meninggalkanku sendiri, menyesap sisa-sisa espresso hingga cup dalam genggamanku mengering.
Bagaimana Kiran akan yakin dengan yang kukatakan, sedangkan aku belum bisa meyakinkan diriku sendiri. Kebimbangan dan ketakutan-ketakutan akan peristiwa yang Kiran alami, tentang perasaan menghargai yang bukan hanya sebatas pada keinginan tentang tubuhnya. Aku bertanya-tanya, puluhan bahkan ribuan kali tentang apa yang sebenarnya ku mau? Aku takut jika ternyata jawaban dari semua pertanyaan itu hanya bermuara pada kemolekan.
Dalam syariat memang menetapkan bahwa perempuan yang diperkosa tidak mendapat hukuman. Aku teringat kata Imam Malik, dalam kitabnya Al Muwaththa’ mengatakan; Menurut pendapat kami, tentang orang yang memperkosa wanita baik masih gadis maupun sudah menikah jika wanita tersebut adalah wanita merdeka maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.
Itu jika terjadi sekali, tapi kejadian itu berulang dan tidak ada upaya dari Kiran untuk menghindari laki-laki itu agar hal serupa tidak terulang kembali. Tapi tentu menjadi Kiran tidaklah mudah. Bukan pasal meninggalkan dan semua akan selesai begitu saja. Kupikir dia ada alasan untuk hal ini, mengapa bertahan dan harus mengorbankan tubuhnya berkali-kali lagi. Pernah kubaca pada sebuah tulisan bahwa, perempuan korban kekerasan seksual itu tidak berdaya. Ia semacam sedang memakan buah simalakama. Ditelan menyakitkan, dimuntahkan juga tak kalah menyedihkan.
Lagipula apa iya semua lelaki serumit aku. Karena jelas-jelas itu perbuatan salah dan tentunya dia juga tahu jika perbuatan itu tidak dibenarkan dan aku pun tidak membenarkan. Tapi jika sudah terjadi lantas apakah lelaki diluar sana bisa begitu legowo ketika mendapati perempuan yang disukainya tidak lagi terlindungi atau katakanlah tidak perawan lagi.
Aku termenung, memposisikan diriku sebagai Kiran. Sebagai perempuan dengan luka kemalangan yang bahkan tidak seorang pun tahu. Menjadi dia, melewati malam-malam pekat sendirian dengan tubuh yang hancur dan perasaan yang meregas saban hari. Di dalam perasaan tidak berdaya ia harus menutupi semuanya, tanpa terkecuali. Bertahan atas rasa sakit kemudian kepedihan. Pelan-pelan kemudian kupahami, memang tidak mudah untuk terbebas dari semua. Banyak hal mungkin yang sudah ia upayakan, tetapi tetap saja itu berat tanpa adanya dukungan dari siapapun. Namun lagi yang kuingat, bahwa acapkali tersebar berita tentang kekerasan seksual bukan kepedulian yang didapat, justru cercaan dan makian dari banyak pihak. Mungkin itulah yang Kiran juga pikirkan, ketika hendak bercerita dengan orang lain.
Selain itu, jika sudah diketahui orang lain akan menjadi beban baru lagi baginya. Siapa yang akan menerima, bahkan bisa jadi keluarga yang notabene adalah rumah untuknya akan enggan untuk memahami.
Belum lagi perasaan tertekan yang terus menghantui, tentang penerimaan terhadap dirinya. Siapa yang akan menerima tanpa tapi, tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Kebanyakan lelaki memang hanya peduli pada hal-hal baik di dalam tiap inchi tubuh perempuan, yang tanpa cacat sama sekali. Tidak mau tahu apapun alasannya, perempuan harus terjaga dari hal apapun. Mungkin seperti itu dan sampai sini aku mengiyakan apa kata pendahulu bahwasanya pacaran adalah suatu perbuatan yang mendekati zina yang sepatutnya dihindari.
Genap 69 hari aku hilang kontak dengan Kiran. Rasanya dia benar-benar ingin aku merenungkan apa yang telah kukatakan dan tidak ingin menggangguku. Berulangkali aku menghubunginya tapi tidak tersambung.
*****
Allahumma inni as-aluka an tarzuqani rizqan halalan wasi’an thayyiban main ghairi ta’abin wa la masyaqatin wa la dlairin wa la nashabin ‘ala kulli syai-in qadir(un).
Setelah beberapa waktu pikiranku hanya terpusat pada Kiran, hari ini aku memutuskan memulai rutunitasku kembali membuka Kedai Salik milikku. Ditemani lengking suara Miljenko Matijevic yang mengalun diseluruh ruang. She’s Gone, belum juga lagu itu sampai ke reff seorang perempuan meghampiri meja racikku.
“Beberapa waktu yang lalu, aku melihat seorang perempuan dengan ciri-ciri mirip Kiran temanku berkunjung kesini. Apa dia memang sering kesini?”
“Maaf, mbak ada perlu apa?” aku balik melempar pertanyaan padanya.
“Hari ini ada janji dan mau ketemu.”
Mendengar nama Kiran keluar dari bibir si perempuan itu, tanpa aba-aba hati ini berdesir. Lahir pula keinginan untuk berbicara lebih dengannya tentang seberapa jauh ia mengenal Kiran. Namun tidak mungkin aku mengorek informasi tentang pengunjung dari pengunjung yang baru kali pertama datang ke kedaiku.
“Kiran lama tidak datang kesini”, dengan tetap menjaga profesionalitas sebagai pedagang dengan pelanggannya aku menimpali.
Tak berselang lama Kiran mengunjungi kedai bersama teman-temannya. Tanpa menunggu lama teman Kiran yang semula bercakap-cakap denganku turut serta bergabung bersama mereka. Selepas meracik dan mengatarkan pesanan, dari balik meja racik dalam kepulan asap yang melayang-layang, diam-diam aku mengamati dia. Seonggok tubuh yang sempat menghantui pikiranku. Kuperhatikan dirinya sungguh lain apa yang ditangkap kornea mataku kali ini. aroma duka dari tubuhnya tersamarkan. Di antara teman-temannya, rupanya kini menjelma sebagai sosok periang. Tertawanya juga lepas. Sekejap aku berpikir, Kiran telah mampu melalui kedukaannya atau mungkin janji-janji dari kekasihnya telah berbuah dan manis.
Aih. Baru saja aku menghela nafas sedikit agak panjang, yang niatnya kubarengi ucapan syukur, tertahan. Itu kamuflase. Kala jeda perbincangan diantara mereka dan berpasang mata tertuju pada gadget, keriangan itu meredup. Kiran tak turut memelototi ponsel miliknya. Ia mencabut sebatang rokok, sepertinya ia telah hanyut bersama kepulan asap yang dihembuskannya. Sepertinya dinding yang ia dirikan untuk menyembunyikan duka dihadapan temannya telah retak atau memang kurang rapat sehingga masih terdapat celah, loloslah aroma duka itu.
“Hambok ya gak usah sok kuat to, Ran,” ucapku lirih sembari menyunggingkan senyum.
Nakal atau gampangan? Pikiranku membentuk sebuah lingkaran diskusi ketika mengamati kejadian yang saat ini kuperhatikan dan mengingat peristiwa dalam cerita sebelumnya. Jika karena nakal, sampai kini aku belum menemukan ciri untuk menilai begitu. Dari penampilan Kiran memang tidak mengenakan jilbab, tapi baju yang ia kenakan terkesan longgar dan panjang. Meski ada satu ketika longgar pakaian yang ia kenakan itu tak dapat menghilangkan kesan gumpalan dadanya yang besar. pakaiannya sudah jauh dari definisi mini. Lantas jika soal jilbab, pernah bahkan berulangkali aku mendengar berita atau rekaman video perempuan berjilbab memerankan adegan yang tak senonoh.
Kiran perokok. Itu kan sudah bukan hal baru, baik laki-laki maupun perempuan merokok sudah ada sejak lama. Bisa jadi ia sedang menunjukkan bahwa sebagai perempuan memiliki agensi untuk memilih, mengontrol dan menentukan apa yang ia konsumsi, salah satunya dengan merokok. Atau mungkin ia ingin bernegosiasi dan mematahkan stigma negatif mengenai perempuan yang merokok itu adalah perempuan nakal dan buruk. Sama halnya dengan kejadian puluhan tahun lalu di Indonesia, yang mana stigma mengenai lelaki berambut gondrong yang selalu dikaitkan dengan premanisme atau kriminal lainnya.
Lalu apabila dinilai gampangan sebab ia tidak melawan saat mengalami kekerasan seksual, darimana aku tahu dia tidak melawan? Tidak demikian! Ada suatu kondisi orang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Bisa jadi karena terlalu kaget dan emosional. Katakan saja jika seseorang sedang ketakutan karena melihat hantu, bukannya ,merapal doa yang dia hafal atau lari, malah terkulai lemas. Belum lagi jika membandingkan kekuatan fisik lelaki dan perempuan.
“Sudah mas. Berapa ya semuanya?” sedikit teriak, Ranti teman Kiran yang paling awal kutemui hari ini, membuatku terpelanting dari lingkaran debat pikiranku.