Senja Miliknya
Oleh: Anisa Indari
Sembari melangkah disepanjang pesisir pantai, kakinya berkali – kali menyandung batu karang yang banyak berceceran tergulir oleh ombak.
“Sudah ke 991 jejak kaki yang kutinggalkan di pantai ini. Tapi kenapa ingatanku hanya ada padanya? Ah, lebih baik aku pulang untuk membuat jejak kehidupan baru”. Celoteh Fajar sambil bergegas pulang sendirian.
Bukannya ia tak punya teman, namun semenjak usia 25 tahun ia menjadi lelaki introvert yang menyukai kesendirian dan ketenangan. Berjalan di sepanjang pesisir pantai Soge merupakan kebiasaannya setelah selesai membantu pamannya mencari kerang laut.
Sekitar 100 meter sampai rumah, ia masuk ke kamar mandi untuk bebersih diri. Setelah itu mengambil Sajadah untuk sholat ‘Ashar dan melanjutkan rutinitasnya membaca surat Al – Waqi’ah dan Al - Mulk.
“Shodaqallahul’adziim.” Pungkasnya setelah mengakhiri pembacaan Surat Al - Mulk ayat ke 30.
“Oh iya lupa, aku kan disuruh paman ke warung untuk beli makanan.”
Fajar mengambil uang yang ada di bawah taplak meja ruang tamunya dan beranjak keluar menuju warung.
“Ini nasi bungkusnya, Cah Bagus”. Ucap Bu Soim melayani Fajar.
“Terimakasih, Bu” jawabnya sambil mengangguk sopan.
Fajar yang merupakan alumni santri di salah satu pondok pesantren terbesar ke 3 di Jawa Timur masih sangat menekankan adab dan akhlakul karimah di kehidupan sehari – hari selama menetap di wilayah pesisir pantai sampai saat ini. Selain ketampanannya yang membuat kagum, namun kesholehannya mampu membuat orang disekitarnya mengidamkan sosok lelaki seperti Fajar.
Drt…drt…drt…drt. (3 panggilan tak terjawab).
“Loh siapa ya yang telfon pakai nomor baru?. Em, apa mungkin Sukron ganti nomor ya, kan cuma dia yang tau nomor baru ku ini”. Sambil menaruh ponselnya ke meja tanpa berfikir panjang.
Keesokan harinya, kebiasaan rutin tetap diulang. Yaitu berjalan menyisiri pantai sendirian. Namun, pada saat itu ada beberapa nelayan yang sedang membicarakan seseorang. Fajar yang mendengarkan dari jauh tetap bersikap cuek seolah – olah ia nyaman dengan hembusan angin laut.
“Ya, dengar – dengar dia telah dilamar sama keponakan kiyainya. Tapi ia masih menginginkan waktu 1 minggu untuk memutuskan jawabannya.” Ucap seorang nelayan perempuan sembari menggulung jala yang baru saja ia jemur di pesisir pantai dekat Fajar duduk.
“Wah, lama banget sampai 1 minggu. Emang kebanyakan perempuan itu sulit dipahami. Wong udah jelas – jelas dilamar keponakan kiyai, masak masih pikir – pikir. Ruginya dimana coba.” Sahut nelayan perempuan yang masih bujang.
Pembicaraan mereka tetap berlanjut sampai Fajar bosan mendengarkan tawa kecil mereka dari kejauhan.
“Wah sudah jam setengah 5 nih, pulang ah. Mandi, sholat, mengaji dan menunggu Adzan Maghrib untuk buka puasa”. Gumam Fajar yang sedang berpuasa Sunnah Kamis sambil menenteng sandal yang baru saja digunakan alas duduk.
Tepat pukul 17.30 WIB setelah semua rangkaian aktifitas selesai dan Adzan Maghrib berkumandang tiba – tiba ia mendapatkan pesan SMS dari nomor baru bertuliskan “Selamat berbuka puasa, jangan lupa berdo’a dan berbukalah dengan yang menyehatkan, karena saya tidak ingin mendengar kabar kamu sakit disana”.
Belum selesai ia mengunyah kurma ke 3, seketika jantungnya berhenti memompa darah ke seluruh tubuh karena pesan tersebut berhasil masuk di seluruh sel – sel darahnya. Mengantarkannya pada pemikiran yang tidak – tidak, hingga ia kembali memikirkan perempuan itu.
“Siapa sih ini?” Masak iya Sukron se lebay ini sekarang. Ah sudahlah, besok coba aku telfon nomornya”. Gumam Fajar meyakinkan diri sendiri.
Seiring berjalannya jarum jam mengelilingi putaran angka - angka, Fajar lupa akan niatnya yang ingin menelpon balik teror nomor baru tanpa nama.
Hingga pada sepertiga malam “Ya Allah, aku benar – benar merindukannya, beri aku kesempatan bertemu, berbincang ataupun sebatas saling menyapa. Jika Engkau meridhoi, kuatkan hati kami untuk saling menjaga diri. Amiin”.
Selesai menggulung sajadahnya, ia lanjut mengaji hingga adzan subuh berkumandang lalu ia sholat dan memulai aktifitasnya hari ini.
“Assalamu’alaikum, Fajar.” Sapa temannya sambil menghampiri.
“Waalaikumsalam, Eh Salih. Sejak kapan kau mudik dari Pondok?”
“Kemarin sore Faj. Maaf pagi – pagi mengganggumu. Aku cuma mau menyampaikan pesan kalau lusa, Gus Jagad mau menikah. Tapi sebelumnya maafin aku ya Faj” Ucap Salih merasa bersalah.
“Lah kenapa Bro?” Balas Fajar. “Undangannya kemarin ketinggalan di masjid kota waktu aku mampir sholat” Jelas Salih tetap merasa bersalah.
“Udahlah nggak masalah, toh Gus Jagad tetap jadi nikah besok lusa kan?” Tanya Fajar sambil bercanda. “Hahaha” Tawa keduanya menyelimuti pagi yang sejuk.
Salih merupakan teman Fajar sejak kecil sampai mereka masuk Pondok yang sama. Keduanya sangat akrab karena merupakan sejoli yang taat agama diantara teman sebaya di kompleks desanya.
Suatu pagi, tepat di hari lusa terselenggaranya pernikahan sakral Gus Jagad dan calonnya, Fajar dan Salih berangkat mengendarai sepeda motor andalannya Supra. Tiba disana, perasaan Fajar tiba – tiba terguncang ketika mengetahui nama mempelai wanita yang dipampang didepan Gapura Tenda pernikahan Gus Jagad.
“Jagad dan Senja?” Sebut Fajar dengan nada kaget tak percaya.
“Iya, nama yang bagus ya Bro. Katanya, mempelai wanitanya juga manis dan sudah hafidz lo.” Jelas Salih yang berdiri di samping Fajar. “Oh gitu ya”. Sahut Fajar dengan nada pasrah.
“Apa iya Senja pindah mondok disini? Terus kenapa dia menikah secepat ini? Lalu kenapa dia mudah melupakan aku? Bukankah ia komitmen dengan janji yang pernah diucapkan 4 tahun yang lalu? Senja Tahta Humaira.. semoga saja bukan dia.” (ucap Fajar dalam hati sambil galau)
30 menit setelah menunggu kedua mempelai keluar ndalem menuju ke panggung pelaminan, sontak Fajar tak kuat menahan realita dan rasa sakit yang dialaminya.
“Aw, kakiku diinjak mamak – mamak bro..”. Sambil meringis kesakitan.
“Emang ganas ni mamak – mamak, mana tamunya juga banyak lagi, pengantinnya jadi nggak kelihatan dari sini. Eh, itu santri – santri yang lain, gabung kesana yuk” Ucap Salih sambil mengajak Fajar pindah tempat.
Mereka saling bertemu dan menyapa satu sama lain karena dipertemukan dengan teman lama.
Setelah para tamu besan datang dan duduk ditempat, akhirnya semua tamu kondusif dan semua menyaksikan prosesi pernikahan Gus Jagad dan Senja. Tiba – tiba …
“Kemana Faj?” Tanya Salih.
“Aku mau ke parkiran” Sahut Fajar sambil tergesa – gesa.
“Ngapain?” Tanya temannya yang lain
“Bentar aja, ada yang ketinggalan.” Bergegas menuju jalan keluar tenda pernikahan sambil menahan gejolak patah hati.
Seperti tertimpa musibah, tak kuasa ia menahan rasa pasrah. Rupanya, sosok wanita yang selalu ia sebut di sepertiga malam, yang selalu ia galaukan setiap sore di pantai Soge, ternyata telah berjodoh dengan anak Kyainya sendiri. Ia tak lain adalah Gus Muhammad Jagad Al Kaffa. Mau tak mau, kegalauan yang sebelumnya ia telan setiap sore, kini bertambah menjadi rasa kekecewaan sepanjang masa. Ia tak bisa menyalahkan siapapun karena mereka bertemu karena kebetulan, dan terpisah karena masa depan. Hingga pada akhirnya takdir berkata beda.
“Senja, seandainya kamu dan saya tidak dipisahkan oleh kewajiban “Tholabul ‘Ilmi” di tempat yang terpisah jauh, pasti aku akan sowan ke rumah dan siap melamarmu. Memang cinta itu seperti surat Al – Ikhlas. Indah dan bermakna. Namun tak pernah tersebut didalamnya. Cukup. Hari ini aku harus kuat, menyembunyikan semua derai air mata untuk turut bersuka cita melihatmu behagia di kursi pelaminan bersamanya.”
“Terimakasih Senja, aku baru tersadar, pesanmu kemarin Kamis adalah pesan rindu yang sebenarnya. Namun apalah daya, aku tak merespon hingga akhirnya kau memutuskan komitmen kita di atas hubungan sakralmu dengannya. Semoga kau bahagia dan menjadi keluarga samawa.“ Sesal Fajar dalam hati sambil melamun di depan kolam parkiran.