Cerita Dan Budaya Pesisir “khuto” Trenggalek
Img: repost satrianesia.com
Oleh: Aziz Prasetya
Khuto Trenggalek! Bagian dari panorama keindahan Trenggalek yang tidak hanya alam yang terbentang dari sawah dan hamparan hijau pegunungan yang sudah pasti kita sering lihat dalam diberbagai pelosok desa. Akan tetapi kita jumpai terdapat hamparan kuliner yang disajikan di beberapa desa seperti bhotok / geneman, Lodho, blendrang tewel, srondeng, urap-urap, pecel, sompil, sayur lodeh, hingga beberapa menu makanan dan “camilan” ala Trenggalek ini ternyata jika didiskusikan dengan masyarakat Trenggalek mempunyai analisa dan pesan secara filosofi akan keberadaan sejarah kabupaten Trenggalek.
Bentangan kuliner yang disajikan tersebut adalah bagian dari kemampuan manusia untuk menciptakan sebuah karya yang berupa kuliner khas daerah tersebut. Pengembangan dan kajian kuliner tersebut tidak lepas dari cipta, rasa, dan karsa yang dikembangkan dan dipahami sebagai bagian dari alam yang ada disekitarnya untuk mampu diolah dan digunakan sebagai bagian dari penghormatan kepada alam untuk dapat digunakan sebagai suatu hal yang bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.
Menurut Ki Hajar Dewantara bahwa manusia tersusun dari tiga ke kekuatan atau disebut dengan trisakti, yaitu cipta atau pikiran, rasa atau hari, dan karsa atau kemauan. Tiga kekuatan tersebut bagian dari diri manusia secara alami untuk mampu tumbuh dan berkembang sebagai potensi manusia untuk menciptakan sebuah budaya untuk menjadi pondasi peradaban masyarakat.
Kebudayaan masyarakat Trenggalek secara “cipta”, “rasa”, dan “karsa” sudah membentuk dengan lahirnya berbagai macam kuliner yang hingga saat ini cerita dan menu makanan yang disajikan masih dapat diuji dan dikoreksi antara tahun terdahulu sampai sekarang, seperti membungkus makanan disaaat ada acara hajatan nikah harus menggunakan “daun jati”. Secara filosofi pohon jati adalah bagian dari alam yang punya daya tahan yang kuat dari unsur perusak alam ataupun dari pergantian musim, sehingga diharapkan simbol itu bisa membawa calon yang melakukan hajatan dapat diberkahi dan “langgeng selawase” dalam kehidupan mereka.
Kebudayaan tersebut lahir dari berbagai intraksi sosial yang tanpa sadar membuat sebuah prilaku-prilaku yang “masif” dan menjadi sebuah aturan yang tak tertulis, baik secara perilaku sehari-hari ataupun simbol-simbol yang secara adat disepakati bersama. Seperti istilah “mbadok” yang biasanya ditujukan pada kegiatan orang untuk makan, walaupun istilah ini tergolong bahasa kasar akan tetapi ada sebuah nilai sosial yang diukur secara “stratifikasi sosial” mempunyai ruang yang bisa menjadi sebuah dorongan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang lain. Selain itu juga kalimat tersebut bagi beberapa masyarakat akan lebih familier serta lebih akrab ketika menunjukkan bahasa tersebut. Ada juga istilah lain ketika warga lain mau datang kerumah yang biasa disebut dengan “sonjo tonggo” bahasa yang menjelaskan tentang bersilaturahmi ketetangga. Ada kearifan lokal yang menjadi sebuah kebudayaan anatara lain ungkapan “monggo bapak/ibu/mbah..” adalah sebuah ungkapan penghormatan ketika berpapasan dengan orang yang lebih tua dan jika ada orang yang tidak melakukan pasti akan terkena namanya hukuman sosial berupa umpatan dan “dehumanisasi” sosial dengan warga sekitar.
Lahirnya berbagai macam kuliner ini pun jika dipahami secara “filosofi” kebudayaan didalamnya banyak mengandung sebuah proses prilaku sosial yang tiap individu di masyarakat tersebut meyakini dan memahami “kekuatan budaya lokal” ini mempunyai ikatan hati serta pemahaman yang kuat. Seperti acara “kupatan” yang setiap tahun terjadi tepatnya setiap hari raya ke-7 di daerah Durenan, menjelaskan bahwa tradisi kupatan mempunyai histori dan juga filosofi kebudayaan yang kental dengan penyampaian perdamaian di antara sesama warga Trenggalek dan juga ajang silaturahmi sesama teman yang lama tidak berjumpa, teman satu daerah ataupun kepada sesama saudara sendiri.
Di kabupaten Trenggalek dalam proses hajatan atau “megengan” bagi beberapa orang sebagai upaya pengucapan trima kasih kepada sang pencipta atas semua proses yang dilalui dan berjalan baik, simbol tersebut selalu dihadirkan dengan sebuah penyajian makanan disertai dengan “ingkung ayam jawa”. Hal ini mengisaratkan bahwa “ingkung ayam jawa” ini mengambarkan proses cara makan ayam yang tidak pernah lepas dari memilah dan memilih untuk dimasukkan dalam perut. Ayam adalah salah satu hewan yang hidupnya menyatu dalam kesehariannya dengan manusia, serta selalu menunduk dalam memakanan makanan menandakan bahwa ada prilaku yang dalam jawa disebut dengan “andap ashor”. Sebuah prilaku yang terdapat nilai-nilai penghormatan dan “ngajeni” siapapun didalam pergaulan didalam masyarakat, sedangkan penyajiannyapun selalu dengan identik dengan santan yang pekat serta nasi gurih atau kuning serasa nikmat dalam imajinasi prlaku yang biasa dilakukan dalam masyarakat jawa, khususnya masyarakat Trenggalek.
Terdapat kesenian tarian “turanggo yakso” yang berasal dari Kecamatan Dongko ini merupakan gambaran tentang Trenggalek yang mayoritas wilayah agraria, bahwa “turonggo” artinya Penunggang kuda dan “yakso” artinya raksasa atau “buto”, menceritakan tentang petani yang melawan para pengganggu panen yang ada disawah, yang pada zaman dahulu digambarkan oleh sesosok raksasa atau disebut dengan “buto”.
Masyarakat pesisir pantai, bagian dari kebudayaan dan adat yang lekat dengan kedewaan dengan filosofi penghormatan laut yang disimbolkan dengan “nyai roro kidul”, hal ini berkaitan dengan prilaku keseharian mayarakat pantai prigi atau biasa disebut dengan masyarakat selatan. Merupakan masyarakat yang secara ekonomi sangat ditopang dengan sektor perikanan yang secara turun menurun mempunyai kealihan dalam melaut, hingga mempunyai sebuah adat istiadat yang biasa disebut dengan kegiatan “sedekah alam” atau “larung sesaji”. Hal ini merupakan sebuah ritual tradisi dari beberapa dekade sebagai bentuk penghormatan dari perjuangan para leluhur tentang proses memberikan edukasi dan “dedikasi” menjadi masyarakat nelayan serta bersyukur kepada sang pencipta dengan di bentuk sebuah penghormatan berupa perayaan kepada alam.
Proses memahami dan memberikan edukasi kepada masyarakat dari beberapa tokoh masyarakat ataupun para akademisi tentang pergeseran nilai-nilai pada bentuk perubahan-perubahan sosial serta adat-istiadat bisa dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang dijalan setiap hari, munculnya gadget dalam kehidupan masyarakat adalah bagian dari moment generasi tua untuk belajar dan “dipaksa” belajar memahami perubahan-perubahan tersebut. Kompleksitas permasalahan dimasyarakat Trenggalek dikalangan anak muda adalah cara pandang antara kota dan desa, bahwa hidup dikota dengan cara pandang “hedonisme” meruapakan bagian dari puncak kesuksesan yang dirasa didesa meuapakan suatu hal yang “mahal” untuk didapatkan. Akan tetapi jika beberapa anak muda yang saat ni ada ratusan ribu merantau diluar Trenggalek dengan berbagai macam status yang dia bawa, apakah sebagai mahasiswa/pelajar ataupun sebagai pekerja, pemahaman “pulang kampung” adalah bagian bagaimana desa adalah bagian dari kerinduan dari cara pandang bahwa kota sangat berbeda dengan desa. Nuansa keindahan, kehangatan, hingga pada bentuk interaksi yang terjadi jauh dari pada apa yang didapat didalam masyarakat perkotaan.
Dari beberapa data statistik di kabupaten Trenggalek tentang masyarakat yang bekerja diluar negeri di dominasi dari beberapa orang yang merasa di Trenggalek tidak ada wilayah untuk mampumembuat kehidupan didesannya tersebut menjadi seperti gambaran kehidupan dimasyarakat kota. Hal ini mejadi sebuah kebudayaan didalam masyarakat itu sendiri, bahwa untuk cepat kaya maka harus berani kerja jauh dari Trenggalek. Sehingga ada istilah “jajah deso melang kori” ungkapan ini adalah bagian dari cara pandang yang menjadi budaya bagi masyarakat tertentu di Trenggalek. Hal ini dipastikan ada efek yang negatif dalam prosesnya yaitu lahirnya budaya perceraian bagi warga sebagian Trenggalek dan hal ini bukan yang “tabu” karena ada proses saling menyadari yang bahwa kehidupan yang masih mempertahankan posisi di desa adalah suatu hal yang “kuno”, sehingga jika ada pasangannya yang masih suka bertahan didesa maka pasagan ang diluar untuk kerja tersebut mempunyai rasa malu untuk menyandang suami/istri. Pola-pola cara pandang tersebut jauh dari petuah tokoh jawa tentang pemahaman “sabar” dan “seng ati-ati” dalam berumah tangga, karena pernikahan adalah sebuah bentuk perjuangan dan perceraian adalah sebuah bentuk kegagalan, yang jelas ini akan berdampak pada anak-anak generasi berikutnya. Istilah “nerimo ing pandum” atau menerima apa adanya, dikalangan warga Trenggalek menjadikan sebuah pemahaman kedalam jiwa masing-masing individu yang benar-benar diterapkan sebagai bentuk bagian dari kehidupan keseharian masyarakat desa untuk menerima apapun hal yang terjadi.