Perempuan Beraroma Duka | Bagian 1
Oleh: Zein Ave*
Aku tidak mengenal perempuan itu, kecuali hanya tahu sepenggal namanya, Kiran. Sebuah nama yang terkesan melankolis.
Tak pernah kusangka pemilik nama itu ternyata seonggok tubuh perempuan yang berlumur duka. Lebih pekat dari kabut malam. Sepintas terlihat dari sayu matanya, juga aroma duka yang menguar saat ia datang menghampiri meja tempatku meracik kopi. Aku bukan seorang peramal atau indigo, hanya saja diam-diam acap kali mengamati gerak-gerik pengunjung kedaiku. Aku tahu ini kebiasaan yang kurang etis., tapi ntahlah, semua brjalan begitu saja tanpa aba-aba.
Tidak setiap malam, tetapi perempuan itu mengunjungi kedai mungilku ini selalu di jam yang sama. Setengah jam sebelum kedai tutup. Kalaupun selisih paling hanya beberapa detik saja.
“Yang tak pernah dusta atas nama rasa.”
Ya, begitu cara dia memesan espresso. Kopi yang sangat pekat. Meski sederhana dalam penampilan espresso cenderung sulit untuk diminum bagi pemula karena rasanya yang pahit dan kental. Malam ini bukan kali pertama Kiran memesannya, jelas dia bukan pemula. Bisa jadi Kiran memang penikmat kopi atau jangan-jangan ia sedang mengalihkan rasa pahit di bagian lain terpusat pada lidahnya.
Diam-diam ada ketertarikan untuk mengenalnya. Ku lihat jarum jam ditanganku menandakan waktunya kedai ku tutup. 23.59 WIB. Kuurungkan keinginanku untuk berkenalan dengannya.
Ku langkahkan kakiku menuju pintu utama, ku putar papan putih yang mengantung disana sebagai tanda bahwasanya kedai memang telah tutup. Aku membalikkan badan untuk merapikan bangku-bangku kedai. Sesaat langkahku terhenti ketika melewati meja perempuan yang sedari tadi kuamati.
“Mbak, kedai sudah tutup”, kataku padanya.
Pada malam-malam sebelumnya kubiarkan saja dia selesai menikmati kopi dan ketermenungannya. Sendiri tanpa kuganggu. Tapi malam ini berbeda, mataku begitu berat. Aku ingin segera tidur.
“Mas ada korek?”
Alih-alih menindahkan perkataanku, perempuan itu justru menarik sebatang rokok lalu menyulutnya usai meraih korek dari tanganku. Asap mengepul dari celah bibirnya, melayang membuncah malam yang pekat. Keinginan yang tadi sempat kuurungkan, kini kembali serasa menggelitik.
Ku geser bangku dihadapannya dan kujatuhkan bokong di atas bangku dari papan kayu itu. Aku mengikutinya, ku tarik sebatang rokok lalu kusulut ujung batangnya. Dalam-dalam ku hisap, lalu menghembuskannya. Kepulan asap putih beradu, berbaur di udara dengan asap yang keluar dari bibir sensual itu.
Ingin aku membuka percakapan dengan memuji kecantikan atau keindahan parasnya. Namun aku takut hal itu menyinggung perasaannya, atau terkesan justru melecehkan.
Tak terasa rembulan semakin dekat dengan peraduannya. Namun masih belum kutemukan kata yang pantas untuk mengawali sebuah percakapan. Lidahku kelu, tenggorokan pun terasa kering. Aku berdiri hendak ke meja racik, menyeduh kopi untuk membasahi tenggorokanku.
“Jika boleh satu lagi untukku,” pintanya seakan mengerti apa yang akan kulakukan.
Aku kembali dengan dua cup espresso. Duduk sembari meraih bungkus rokok usai meletakkan dua cup kopi itu. Satu ku geser ke sebelah kanan, satunya ku geser ke depan tepat di hadapannya. Jari-jari lentik itu langsung meraihnya.
“Hanya ini yang tak pernah berdusta atas nama rasa,” ucapnya sambil mengangkat dan memandangi cup itu dalam cengkeraman jemarinya.
Kutegakkan kepalaku sesaat akan menyulut rokok yang terselip di antara bibirku. Saat itu pula kulirik senyum tersungging manis di bibirnya. Aku hanyut, nyaris tenggelam. Terbawa bagaikan kopi ketika disesap bibir yang teramat sensual itu.
*****
Besok malam genap sebulan Kiran tak lagi datang mengunjungi Kedai Salik. Kedai mungil yang ku desain sedemikian rupa. Dinding dan pintu dari kaca bening. Meja, kursi warna cokelat natural kayu, dengan ornamen-ornamen klasik di beberapa titik. Sengaja ku desain begitu supaya terkesan estetik. Tidak lupa poster bertuliskan beberapa poin adab minum kopi terpasang. Di antaranya menghadiahkan Fatihah pada Syekh Abu Bakar bin Salim, pembawa dan penanam kopi pertama kali di Indonesia, kemudian niat dalam hati (Sengaja ku minum kopi mengambil berkah Syekh Abu Bakar bin Salim karena Allah Ta’ala), lalu membaca doa Nawaitus syifaa bibarakatil Muhammadarasulullah, selanjutnya dalam sesapan pertama mengucapkan Bismillah, sesapan kedua Ar-Rahman dan pada sesapan ketiga Ar-Rahim.
Mungkin dia malu. Malam itu di bangku yang terletak di sudut kedai, dia memuntahkan kerak-kerak di hatinya. Bagaikan tong sampah, aku menerima semua muntahan itu. Tanpa sepatah katapun menanggapi. Perempuan ayu berambut lurus, mata yang semula sayu mendadak berkaca-kaca, hidung bak buah jambu dibelah dua, bibir nan sensual berpadu tarikan dagu yang menambah keluwesan wajahnya. Pundak tegap dengan lekuk tubuh yang proposional dengan tinggi badannya. Sampai situ aku mencermati.
Malam itu dia menceritakan kejadian pilu yang sama sekali tidak pernah kusangka-sangka. Seorang lelaki yang dicintainya telah memperkosanya. Meski dalam ceritanya dia tidak menikmatinya, tapi kejadian itu berulang seakan dia tidak bisa menolaknya, hingga pada akhirnya dia tahu si lelaki yang dia cintai bermain hati dengan perempuan lain. Itulah yang menyebabkan dia kehilangan gairah dalam hidupnya.
Ingin aku bertanya, kenapa tidak melaporkannya sebagai kekerasan seksual kepada pihak yang berwajib. Cuma itu tertahan, mengingat dampak yang mungkin akan dia terima ketika kejadian tersebut diketahui banyak orang. Sanksi sosial yang malah justru akan semakin meregas kondisi psikologis atau bahkan dia akan semakin tertekan dan depresi dengan cercaan, hinaan, makian, celaan yang diterima. Atau justru semua pihak akan semakin menyalahkan atas ketidakberdayaannya.
Aku tidak mau itu terjadi. Jadi aku memilih diam dan membiarkan kerak-kerak itu dimuntahkan seluruhnya.
Tanganku terhenti, ketika mendapati sesosok tubuh yang tak terpungkiri ku rindukan. Aku memandangnya dan kulanjutkan membalik papan yang menjadi tanda kedai tutup. Ku tarik gagang pintu dan mempersilahkan perempuan itu untuk masuk.
“Yang tak pernah berdusta atas nama rasa?,”kuucap kalimat yang biasa Kiran tujukan padaku ketika memesan espresso. Ia menjawab dengan anggukan. Aku bergegas ke belakang menuju meja racikku, sembari tanganku meraih tunning control untuk mengecilkan volume musik di kedaiku. Untuknya akan kusajikan espresso spesial.
Malam ini Kiran datang, namun tidak seperti malam-malam sebelumnya. Wajahnya lebih duka kudapati, mata merah sembab penuh kepedihan. Sesekali kulihat, bulir-bulir bening itu menetes dari dua bola matanya. Akupun menungguinya sembari menghisap cigaret yang tinggal separuh. Kuamati Kiran menyesap kopinya, bulir-bulir air mata itu kian deras.
Aku bertanya,”Mengapa?” dia hanya diam dan semakin terisak.
“Apakah kecerobohanku turut andil dalam menentukan takdirku?”, singkat pertanyaan itu terlontar di tengah isak tangisnya. Membuatku seketika mengurungkan niat menghisap sisa batang cigaret di sela jari tanganku.
“Maksudmu?” tanyaku penuh kebingungan.
“Apakah itu takdir?” Kiran terus mencecarku dengan pertanyaan itu.
“Aku tidak tahu. Hanya saja dari ceritamu aku menympulkan kamu dalam hubungan yang tidak sehat. Apa kamu tidak ingin keluar? Atau ingin terus terperangkap disana?” Kiran menatapku tajam tanpa kata.
Hari telah berganti, alunan tarhim bersahutan dari toa ke toa. Kulihat cup di hadapan Kiran telah asat mengering. Masih tanpa suara, Kiran justru pergi meninggalkanku.
*****
Sejak sore kedai telah kututup. Aku tidak tahu mengapa, hanya aku merasa enggan atas sebuah hal akhir-akhir ini. Pikiranku mengarah pada perempuan itu. Aku ingin membantunya terbebas dari keterpurukan dan kembali sebagaimana mestinya. Bagiku suatu kemungkaran jika aku membiarkan seseorang tersesat di tempat yang sama berulangkali. Aku ingin menariknya, agar dia tidak semakin tergelincir ke dalam lembah yang lebih pekat. Tapi aku harus bagaimana? Aku siapa? Lama kurenungkan itu semua, tapi aku belum menemukan jawaban. Sedangkan hati dan pikiranku bertengkar hebat dalam kebimbangan, apakah aku sekadar menginginkan tubuhnya atau benar-benar menyelamatkannya?
Ponselku bergetar. Perempuan yang saat ini menari-nari dipikiranku berkirim pesan.
“Bagaimana jika aku sampai gila?” aku mengernyitkan dahi membaca pesannya, namun disisi lain aku ingin tertawa. Sebab jika dia gila tidak ada hukum yang menjeratnya. Sekalipun tidak lagi kekerasan seksual yang dialami melainkan beradu birahi. Tapi apakah itu solusi yang tepat?
“Kau bisa datang ke kedaiku.” balasku.
Tidak sampai 30 menit Kiran menekan lonceng di depan pintu kedai. Sudah ada dua cup espresso yang sengaja kusiapkan. Aku duduk di hadapannya. Meski begitu aku tidak ingin menanyakan tentang lelaki yang ia cintai, hubungannya sampai mana juga tidak ingin ku singgung.
“Menikahlah denganku.” Kataku penuh kepastian. Meski aku sendiri juga tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku. Yang ku tahu pasti hanyalah ingin menarik insan yang jatuh dalam lembah pekat.
“Apakah kamu sedang merayuku? Kamu juga menginginkan tubuhku? Kamu juga tahu mas apa yang terjadi padaku. Yang sudah-sudah hanya memanfaatkanku, berpura-pura menebar empati namun semua hanya ingin turut menikmati.”
*Komikus serial "Pada Suatu Ketika"